Kamis, 04 Agustus 2016

Semester 2 Mata Kuliah Akhlak Tasawuf

Edit Posted by with 3 comments


Sejarah Perkembangan Tasawuf
Menurut Ibnu Al-Jauzi dan Ibnu Khaldun, secara garis besar kehidupan kerohanian dalam islam terbagi menjadi dua, yaitu zuhud dan tasawuf. Diakui bahwa keduanya merupakan istilah baru yang belum ada pada masa Nabi Muhammad SAW dan tidak terdapat dalam Al-Qur’an,  kecuali zuhud yang disebut sekali dalam Surah Yusuf (12) ayat 20.
        Istilah yang populer pada masa Nabi Muhammad adalah sahabat sebagai panggilan kehormatan bagi pengikutnya. Mereka adalah orang-orang yang terhindar dari sikap syirik dan pola kehidupan jahiliyah, serta selalu mendengar dan meresapi Al-Qur’an. Ketika Nabi Muhammad bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah, ada istilah yang muncul, yaitu muhajir dan anshar. Muhajir berarti orang yang berpindah dari Mekkah ke Madinah, sedangkan anshar berarti orang Madinah yang memberi pertolongan kepada orang muhajir.
        Ketika islam berkembang dan banyak orang yang memeluk islam, terjadilah perkembangan strata sosial sehingga muncul istilah baru di kalangan sahabat, yaitu qurra’ (ahli membaca Al-qur’an), Ahl Ash-Shuffah, serta fuqara. Pada pengkaji Al-qur’an. Kemudian masa khalifah keempat, muncul istilah Mu’tazilah sebagai pertanda bagi orang yang menghindarkan diri dari pertikaian Ali dan lawannya. Mereka berada di rumahnya masing-masing untuk konsentrasi menjalankan ibadah dan di antara mereka ada yang megasingkan diri ke gua-gua. Ketika itu muncul istilah ‘ubbad (ahli ibadah) dan bersamaan dengan itu muncul istilah Khawarij bagi orang yang keluar dari barisan Ali. Mereka itu semua kelompok zuhud yang umumnya disebut qurra’.
        Setelah kematian Ali dan Husain, muncul orang-orang yang merasa dirinya banyak dosa sehingga selalu bertaubat kepada Allah SAW. Mereka itu disebut tawwabin. Ada pula kelompok yang selalu meratapi kesusahan dan kepedihannya. Mereka itu disebut qashshash (pendongeng), russak (ahli ibadah), dan rabbaniyah (ahli ketuhanan).
        Sejarah islam mencatat peristiwa tragis saat pembunuhan khalifah ketiga, Usman Bin Affan. Dari peristiwa itu terjadi kekacauan dan kerusakan akhlak. Hal ini menyebabkan sahabat-sahabat yang masih ada dan pemuka-pemuka Islam yang mau berpikir, berikhtiar membangkitkan kembali ajaran Islam, kembali ke masjid (i’tikaf), kembali mendengarkan kisah-kisah mengenai targhib dan tarhib, serta mengenal keindahan hidup zuhud. Inilah asal-muasal tasawuf.
Menurut Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A., dalam bukunya Intelektualisme Tasawuf, menyatakan bahwa sejarah perkembangan tasawuf di kalangan Islam mengalami beberapa periode, yang secara rinci dapat disebutkan sebagai berikut:

1.   Periode Pembentukan

Pada abad  I Hijriah bagian kedua, muncul Hasan Al-Bashri (w. 110 H) dengan ajaran khauf untuk mempertebal takut kepada Tuhan. Begitu juga tampilnya guru-guru yang lain, yang disebut qari’ mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohanian di kalangan kaum muslim. Sebenarnya bibit tasawuf adalah sudah ada sejak itu, garis-garis besar mengenai  thariq atau jalan beribadah sudah kelihatan disusun. Dalam ajaran-ajaran yang dikemukakan sudah mulai dianjurkan mengurangi makan (ju’); menjauhkan diri dari keramaian duniawi (zuhud); dan mencela dunia (dzamm ad-dunya), seperti harta, keluarga, dan kedudukan. Terdapat pemuka-pemuka agama di berbagai daerah, seperti Irak, Kufah, Basrah, dan Syam, yang mempelajari cara-cara meresapkan unsur agama dalam kalangan Hindu dan Kristen, untuk mereka jadikan suri teladan dan memperbesar hasil dakwah Islamiyah, yang adakalanya sampai berlebihan. Dari i’tikaf menjadi khalwat, dari pakaian tenun kapas menjadi baju tenun bulu domba, dan dari dzikir yang sederhana menjadi dzikir yang hiruk pikuk.
    Kemudian pada akhir abad II Hijriah, tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad sebelumnya, yaitu sama dalam corak kezuhudan meskupun penyebabnya berbeda. Penyebab pada abad ini ialah adanya kenyataan pendangkalan ajaran agama dalam melaksanakan syariat agama (lebih bersikap fiqh). Hal tersebut menyebabkan sebagaian orang tidak puas dengan kehidupan seperti itu. Sebagaian ada yang lari kepada istilah-istilah yang pelik mengenai kebersihan jiwa (thaharah an-nafs), kemurnian hari (naqy al-qalb), hidup ikhlas, menolak diri seperti yang dianjurkan oleh Ali Syaqiq Al-Bakhi dan Ma’ruf Al-Karkhi. Selain itu, juga mengurangi makan, memerangi hawa nafsu dengan khalwat, melakukan perjalanan (safar), berpuasa, mengurangi tidur (sahar), serta memperbanyak dzikir dan riyadhah, seperti yang dianjurkan oleh Ibrahim bin Adham. Selanjutnya, memberikan arti yang digambarkan oleh Malik bin Dinar dalam syatahatnya.
    Abu Al-Wafa’ menyimpulkan, zuhud Islam pada abad I dan II Hijriah mempunyai karakter sebagai berikut:
a.   Menjauhkan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada nash agama, yang dilatarbelakangi oleh sosial-politik, coraknya bersifat sederhana, praktis (belum berwujud dalam sistematika dan teori tertentu) yang bertujuan meningkatkan moral.
b.    Masih bersifat praktis, para sendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis atas kezuhudannya itu. Sementara itu, sarana praktisnya adalah hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan secara penuh, sedikit makan dan minum, banyak beribadah dan mengingat Allah SWT, berlebihan dalam merasa berdosa, tunduk mutlak kepada kehendak-Nya, serta berserah diri kepada-Nya. Dengan demikian, tasawuf pada masa ini mengarah pada tujuan moral.
c.   Ciri lain dari motif zuhudnya ialah rasa takut. Rasa takut yang muncul dari landasan keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad II Hijriah, di tangan Rabi’ah Al-Adawiyah muncul motif rasa cinta, yang bebas dari rasa takut terhadap adzab-Nya maupun harap terhadap pahalan-Nya. Hal ini mencerminkan penyucian diri dan abstraksi dalam hubungan antara manusia dan Tuhan.
d.   Menjelang akhir abad II Hijriah, sebagian zahid khususnya di Khurasan dan Rabi’ah Al-Adawiyah menandai kedalaman analisis yang dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf atau cikal bakal para pendiri tasawuf Falsafi abad III dan IV Hijriah. Abu Al-Wafa’ lebih sependapat apabilamereka dinamakan zahid, qari’ dan nasik (bukan sufi).

2.   Periode Pengembangan

Tasawuf pada abad III dan IV Hijriah sudah mempunyai corak yang berbeda dengan tasawuf sebelumnya. Pada abad ini tasawuf sudah bercorak kefanaan (ekstase) yang menjurus ke persatuan hamba dengan khalik. Orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana’ fi al-mahbub), bersatu dengan kecintaan (ittihad bi al-mahbub), kekal dengan Tuhan (baqa’ bi al-mahbub), menyaksikan Tuhan (musyahaddah), bertemu dengan-Nya (liqa’), dan menjadi satu dengan-Nya (‘ainul al-jama’), seperti yang diungkapkan Abu Yazid Al-Busthami (261 H). Ia adalah orang pertama yang menggunakan istilah fana (lebur atau hancurnya perasaan), sehingga ia dibilang sebagai peletak batu pertama dalam aliran ini.
    Nicholson mengatakan, Yazid dijuluki sebagai pendiri tasawuf yang berasal dari Persia, yang memasukkan ide wahdah al-wujud sebagai pemikiran orisinil teosofi dari Timur yang merupakan kekhususan pemikiran Yunani.
    Fariduddin Al-Athar menyampaikan beberapa pandangan Abu Yazid, antara lain yang artinya, “Aku keluar dari Yang Haq kepada Yang Haq sehingga ia berteriak,  “Hai Dzat, Kau adalah Aku.” Pada saat ini aku berada dalam maqam fana.”
    Fana merupakan  persyaratan bagi seseorang untuk dapat mencapai hakikat ma’rifat. Ketika ditanya, “Kapan seseorang dapat mencpai hakikat ma’rifat?” Ia menjawab, “Ketika fana dibawah pantaun-Nya dan tetap di atas hamparan Yang Haq, tanpa jiwa dan tan tanpa penciptaan.” Ketika itulah ia mengatakan, “Saya adalah Allah, tiada Tuhan kecuali Aku maka sembahlah Aku, Mahasuci Aku, alangkah besarnya keadaan-Ku.”
    Sesudah Abu Yazid Al-Busthami, lahirlah seorang sufi kenamaan, yaitu Al-Hallaj (w. 309 H) yang menampilkan teori hulul (reinkarnasi Tuhan) Ath-Thusi dalam Al-Luma’ menyatakan bahwa hulul ialah sebagai berikut:
    “Allah memilih suatu jisim yang ditempati ma’na rububiyyah dan leburlah daripadannya ma’na basyariyyah.”
    Menurut Al-Hallaj, falam diri manusia terdapat dua sifat, yaitu sifat kemanusiaan (nasut) dan sifat ketuhanan (lahut). Tuhan menciptakan manusia dalam copy-Nya. Dasar pemikirannya pada Surah Shad (38) ayat 72,  Adam mempunyai dua unsur, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani berasal ari materi, sedangkan unsur rohani berasal dari roh Tuhan.
    Pencampuran antara roh manusia dan Tuhan diumpamakan oleh al-Hallaj seperti bercampurnya air dengan khamar. “jika ada sesuatu yang menyentuh-Nya, maka menyentuh Aku.” Sejauh itu, ia tidak mengakui adanya peleburan dua hakikat, manusia dan Tuhan, karena keduanya masih mempunyai jarak.
    Di samping pandangan hulul-nya, ia juga mempunyai pandangan tentang teori nur Muhammad dan wahdah al-adyan. Dalam teori nur Muhammadnya, dinyatakan bahwa ia merupakan asal segala sesuatu, asal segala kejadian, amal perbuatan, dan ilmu pengetahuan. Dengan perantarannya alam ini diciptakan. Teori ini mempunyai konsekuensi terhadap pandangan keduanya bahwa sumber segala agama itu adalah satu dan memancar dari cahaya yang satu. Perbedaan agama-agama itu hanya sekadar bentuknya, sedangkan hakikatnya sama karena emuanya bertuhankan satu dan bertujuan menyembah-Nya.
    Pada akhir abad III, orang berlomba-lomba pula menyatakan dan mempertajam pemikirannya tentang kesatuan kesaksian (wahdah asy-syuhud), kesatuan kejadian (wahdah al-wujud), kesatuan agama-agama (wahdah al-adyan), berhubungan dengan Tuhan (ittishal), keindahan dan kesempurnaan Tuhan (jamal dan kamal), manusia sempurna (insan kamil), yang semuanya itu hanya dapat dicapai oleh para sufi dengan latihan yang teratur (riyadhah).
    Kemudian datanglah Junaidi Al-Baghdadi yang meletakkan dasar-dasar ajaran tasawuf dan thariqh (tarekat); mengajarkan ilmu tasawuf; memperkenalkan Syaikh Ath-Tha’ifah (ketua rombongan suci).
    Dengan demikian, tasawuf abad III dan IV Hijriah sudah berkembang sehingga sudah mempunyai mazhab, bahkan seolah-olah agama yang berdiri sendiri. Lebih jauh Abu-Al-Wafa’ menegaskan bahwa tasawuf pada abad III dan IV  Hijriah, lebih mengarah pada ciri psiko-moral dan perhatiannya diarahkan pada moral dan tingkah laku. Sementara itu, kecenderungan metafisik yang muncul tidak terlihat secara jelas, meskipun terdapat ungkapan tentang kefanaan penyaksian, dan syatahiyat. Akan tetapi, itu semua tidak termasuk kategori-kategori teori filsafat tentang metafisika yang membahas hubungan manusia dengan Allah SAW atau hubungan alam dengan-Nya. Meskipun demikian, menurut Abu Al-Wafa ‘, termasuk pada abad-abad ini telah mencapai peringkat tertinggi sekaligus terjernih dan mereka menjadi panutan bagi sufi-sufi sesudahnya.
    Pada abad III dan IV Hijriah, terdapatt dua aliran. Pertama, aliran tasawuf Sunni, yaitu bentuk tasawuf yng memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat (tingkatan rohaniah) mereka kepada dua sumber tersebut. Kedua, aliran tasawuf Semi-falsafi, yaitu para  pengikutnya cenderung pada ungkapan-ungkapan ganjil (syatahiyat) serta menolak dari keadaan fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan (ittihad atau hulul).

3.   Periode Konsolidasi

Menurut Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A., tasawuf pada abad V Hijriah mengadakan konsolidasi. Pada masa ini ditandai kompetisi dan pertarungan antara tasawuf Semifalsafi dengan tasawuf Sunni. Tasawuf Sunni memenangkan pertarungan sehingga berkembang sedemikian rupa. Sementara itu, tasawuf Semifalsafi tenggelam dan kembali muncul pada abad IV Hijriah dalam bentuknya yang lain. Kemenangan tasawuf Sunni ini dikarenakan menangnya teologi Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah yang dipelopori oleh Abu Al-Hasan Al-Asyari (w. 324 H), yang mengadakan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid Al-Busthami dan Al-Hallaj, sebagaimana tertuang dalam syatahiyat-nya yang dianggap bertentangan dengan kaidah dan kaidah islam. Tasawuf pada abad tersebut cenderung mengadakan pembaharuan atau menurut Annemarie Schimmel merupakan periode konsolidai, yaitu periode yang ditandai pemantapan dan pengembalian tasawuf ke landasannya, Al-Qur’an dan sunnah. Tokoh-tokohnya adalah Al-Qusyairi (376-465 H), Al-Harawi (196 H), dan Al-Ghazali (450-505 H).
    Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama abad V Hijriah. Kedudukannya sangat penting mengingat banyak karyanya dijadikan rujukan para sufi, seperti Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah. Isinya lengkap, baik teoritis maupun praktis. Ia terkenal sebagai pembela teologi Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, yang mampu mengompromikan syariat dan hakikat. Ia berusaha mengembalikan tasawuf pada landasannya, yaitu Al-Qur’an dan hadis.
    Ada dua hal yang dikritiknya, yaitu tentang syatahiyat yang dikemukakan oleh sufi Semifalsafi dan cara berpakaian mereka yang menyerupai orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan metode pakainnya. Ia menekankan bahwa kesehatan batin dengan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunnnah, lebih penting daripada pakain lahiriah.
    Tokoh sufi lain yang gencar menyerang “penyelewengan” dalam tasawuf ialah Al-Harawi. Sikapnya yang tegas terhadap tasawuf cukup dimaklumi, karena ia termasuk Hnabilah (pendukung Ahmad bin Hanbal). Karyanya yang terkenal adalah Manazil As-Sa’irin ila Rabb Al-Alamin. Ia dikenal menyusun teoro fana dalam kesatuan, tetapi fananya berbeda dengan fana sufi Semifalsafi. Sebelumnya, baginya fana bukanlah fana wujud sesuatu yang selain Allah, tetapi dari penyaksian dan perasaan mereka sendiri atau dengan ini terjadi karenaia sirna dengan Yang Disembahnya lewat penembahan kepada-Nya, dengan Yang Diingatnya lewat pengingatan terhadap-Nya, dengan Yang mengadakan-Nya lewat wujud-Nya, dengan Yang Dicintainya lewat cinta kepada-Nya, dan dengan  Yang Disaksikannya lewat penyaksian terhadap-Nya. Keadaan seperti ini disebut sakr, ihtilam, atau mihwar.
    Al-Harawi mengganggap orang yang suka mengeluarkan syatahat hatinya tidak dapat tenteram. Dengan kata lain, sytahat itu muncul dan ketidaktenangan sebab apabila ketenteraman itu terpaku dalam  kalbu mereka, akan membuat seseorang terhindar dari keganjilan ucapan ataupun segala penyebabnya.
    Al-Ghazali, pembela tasawuf Sunni menduduki peringkat setingkat lebih tinggi daripada kedua sufi yang telah disebutkan di awal. Pilihan Al-Ghazali jatuh kepada tasawuf Sunni berdasarkan doktrin Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah. Dari paham tasawufnya, ia menjatuhkan tasawufnya dari teori ketuhanan Aristoteles, antara lain dari teori emanasi dan penyatuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali  benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah psiko-moral, yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya, seperti Ihya’ Ulum Ad-Din dan Bidayah Al-Hidayah.
    Al-Ghazali menilai negatif terhadap syatahat, karena dianggap mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal lahiriah, dengan hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami dan mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, tersingkapnya tirai, dan tersaksikan Allah. Hal ini membawa dampak negatif terhadap orang awam, lari meninggalkan pekerjaannya, lalu menyatakan ungkapan-ungkapan yang mirip dengannya. Kedua, keganjilan ungkapan yang tidak dipahami maknanya, diucapkan dari hasil pikiran yang kacau, dan hasil imajinasi sendiri. Dengan demikian, Al-Ghazali menolak sufi Semifalsafi, meskipun ia mau memaafkan Al-Hallaj dan Yazid Al-Busthami. Ungkapan-ungkapan yang demikian itu menjadikan orang-orang Nasrani keliru dalam memandang Tuhannya, seakan-akan ia berada pasa diri Al-Masih.
    Al-Ghazali sama sekali menolak teori kesatuan, ia menyodorkan teori baru tentang ma’rifat dalam batas “pendekatan diri kepada Allah” (taqarub ila Allah), tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan menuju ma’rifat adalah panduan antara ilmu dan amal, sementara buahnya adalah moralitas. Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut berhasil mendeskripsikan jalan menuju Allah SWT, sejak pemulaan dalam bentuk latihan jiwa lalu menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal) menurut jalan tersebut, yang akhirnya sampai kepada fana, tauhid, memadukan tifa kubu, yaitu tasawuf, fiqh, dan ilmu kalam, yang sebelumnya terjadi ketegangan.

4.   Periode Falsafi

Setelah tasawuf Falsafi mendapat hambatan dari tasawuf Sunni, maka pada abad VI Hijriah tampilah tasawuf Falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, berkompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf, juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat, sebut saja tasawuf Falsafi karena di satu pihak memakai term-term filsafat, namun dilain pihak pendekatan terhadap Tuhan memakai metode dzauq, intuisi, dan wajd.
    Ibnu Khaldun dalam bukunya, Muqaddimah, menyimpulkan bahwa tasawuf Falsafi mempunyai empat objek utama yang menurut Abu Al-Wafa’ dapat dijadikan karakter sufi Filsafat, yaitu sebagai berikut:
a.   Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta intropeksi yang timbul darinya.
b.   Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib.
c.   Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap bergbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
d.   Pemakaian ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syatahiyat).
Adapun metode pencapaian tujuan tasawuf sama dengan tasawuf sebelumnya, baik mengenai maqamat, ahwal, riyadhah, muujahadah, dzikir, mematikan kekuatan syahwat, maupunyang lainnya.
Tokoh-tokohnya ialah Suhrawardi Al-Maqtul (yang terbunuh) dengan teori isyraqiyah-nya (pancaran), Ibnu Arabi dengan teori wahdah al-wujud nya Ibnu Sabi’in dengan teori ittihad-nya, Ibnu Faridl dengan teori cinta, fana, dan wahdah asy-syuhud nya.
Pada abad IV dan dilanjutkan abad VII Hijriah, muncul cikal-bakal tarekat oase ditengah gurun pasir kehidupan duniawi. Kemudian tibalah mereka berjalan dalam suatu kekerabatn para sufi yang tersebar luas, yang menyangkut seorang guru, dan menerapkan disiplin dan ritus yang lazim. Tarekat terkenal yang lahir dan berkembang sampai sekarang antara lain, tarekat Suhrawardiyyah yang dicetuskan Syibuddin Umar bin Abdillah Al-Suhrwadi (539-631 H), tarekat Rifa’iyyah yang dikaitkan kepada Ahmad Rifa’i (512 H), tarekat Syadziliyyah yang dikaitkan pada Abu Al-Hasan Al-Syadzili (592-656 H), tarekat Badawiyyah yang dikaitkan pada Ahmad Al-Badawi (596-675 H), tarekat naqsyabandiyyah yang dikaitkan kepada Muhammad bin Bahauddin Al-Uwaisy Al-Bukhari (717-791).
5.   Periode Pemurnian

A.J. Arberry menyatakan, masa Ibnu Arabi, Ibnu Faridh, dan Ar-Rumi adalah masa keemasan gerakan tasawuf, baik secara teoritis maupun praktis. Pengaruh dan praktik-praktik tasawuf kian tersebar luas melalui tarekat-tarekat dan para sultan secara pangeran yang tidak segan mengeluarkan perlindungan dan kesetiaan pribadi mereka. Contoh paling menonjol adalah figur terhormat, Dharma Syaikh, putra Kisar Moghul, Syaikh Johan yang menulis sejumlah kitab, di antaranya Al-Majma Al-Bahrain, didalmnya ia mencoba merujuk teori tasawuf Verdania. Tanda-tanda keruntuhan tampak jelas ketika penyelewengan dan skandal melanda dan mengancam kehancuran reputasi baiknya.
    Tidak terelak lagi, legenda-legenda tentang keajaiban dikaiykan dengan tokoh-tokoh sufi, masa awam segera menyambut tipu muslihat itu sehingga terjadi bukanlah kebaktian sejati. Pengkultusan terhadap wali-wali yang diprotes sia-sia oleh muslim ortodoks, menyuburkan khufarat dan takhayul, membaurkan perdukunan dengan cita-cita mulia. Hidup memalukan, berlaku tidak senonoh, dan bicara tidak karuan merupakan jalan mulus menuju ketenaran, harta, dan takhta.
    Kemudian, tasawuf pada waktu itu ditandai bid’ah khufarat, mengabaikan syariat dan hukum-hukum moral dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan membentengi diri dari dukungan awam untuk menghindarkan diri dari rasionalitas, dengan menampilkan amalan yang irrasional, azimat, ramalan, dan kekuatan ghaib.
    Bersamaan dengan itu muncullah Ibnu Taimiyah yang dengan lantang menyerang penyelewengan-penyelewengan para sufi tersebut. Ia terkenal kritis, peka terhadap lingkungan sosial, polemis dan tegas berusaha meluruskan ajaran Islam yang telah diselewengkan para sufi tersebut, untuk kembali kepada sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan Sunnah. Kepercayaan yang menyimpang diluruskan, seperti kepercayaan kepada wali, khurafat, dan bentuk bid’ah pada umumnya. Menurut Ibnu Taimiyah, yang disebut wali ialah orang yang berperilaku baik (shaleh), konsisten dengan syariat Islam. Sebutan yang tepat diberikan kepada orang-orang tersebut ialah muttaqin (QS. Yunus (10): 62-63).
    Ibnu Taimiyah melancarkan kritik terhadap ajaran ittihad, hulul, dan wahdah al-wujud sebagai ajaran yang menuju pada kekafiran (atheisme), meskipun keluar dari orang-orang yang terkenal ‘arif (orang yang telah mncapai tingkat ma’rifat), ahli tahqiq (ahli hakikat), dan ahli tauhid (yang mengesankan Tuhan). Pendapat semacam itu hanya layak keluar dari mulut orang Yahudi dan Nasrani. Mengikuti pendapat tersebut hukumnya sama, yaitu kafir. Yang mengikutinya karena kebodohan masih dianggap beriman.
    Ibnu Taimiyyah masih menoleransi ajaran fana, suatu tingkatan yang diperoleh orang yang ‘arif tatkala kesadarannya hilang, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Fana yang seperti ini sering dialami oleh sebagian muhibbin (pencipta Tuhan) dan sebagai ahl suluk (yang meniti jejak enuju ma’rifat), namun ia bukan menjadi tujuan dan cita-citanya. Fana yang ditoleransi adalah yang disertai tauhid.
Ibnu Taimiyah membagi fana menjadi tiga bagian: fana ibadah, yaitu fana dalam beribadah; fana’ wujud ma siwallah (fana wujud selain Allah). Terhadap fana pertama dan kedua maih dalam batas kewajaran, baik ditinjau dari segi psikologi maupun teologi. Sementara itu, fana ketiga dianggap kufur karena ajaran tersebut beranggapan bahwa wujud  Khalik adalah wujud makhluk, yang berarti tidak mengakui adanya wujud selain Allah, padahal dalam kenyataannya wujud ini adalah dua dan terpisah antara khalik dan makhluk. Di samping dianggap kafir juga disebut zindiq, dijatuhi hukuman yang setimpal (hukuman mati).
Orang yang berilmu pengetahuan dan beriman, baik masa dahulu maupun masa sekarang tidak ada miripnya dengan ahli ittihad dan ahli hulul yang batil, melainkan mereka adalah orang Islam dan Ahl-Sunnah wa Al-Jama’ah, mereka termasuk ahl al-ma’arifah dan ahl al-yaqin, yang diberi sinar Al-Qur’an.
Ibnu Taimiyah cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, yaitu menjelaskan dan menghayati ajaran Islam, tanpa embel-embel lain, tanpa mengikuti aliran tarekat tertentu dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan sosial, sebagaimana manusia pada umumnya. Tasawuf model ini yang cocok untuk dikembangkan di masa modern seperti sekarang. 

3 komentar:

  1. kak blognya bermanfaat bangett
    kak aku request untuk mata kuliah tafsir tarbawi ya

    BalasHapus
  2. Wah.. terima kasih ya udah baca. Matkul Tafsir Tarbawi udah aku masukin ke blog scroll aja paling bawah.

    BalasHapus
  3. Wah.. terima kasih ya udah baca. Matkul Tafsir Tarbawi udah aku masukin ke blog scroll aja paling bawah.

    BalasHapus